Sabtu, 24 September 2011

SHALATKU IBADATKU


MENGAPA SHALAT ITU ISTIMEWA

Shalat itu istimewa. Bahkan menurut hemat saya adalah yang paling istimewa diantara semua ibadah. Buktinya diantaranya adalah :
  • Yang pertama dihisab (dicek / diperhitungkan) pada hari kiamat adalah Shalat. Begitu menurut sebuah hadis shahih
  • Perintah Shalat diberikan langsung dari Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW, bahkan tanpa perantara malaikat Jibril. Ini terjadi saat Isra’ Mi’raj nabi Muhammad SAW.
  • Shalat tidak tergantikan. Ini perlu digaris bawahi sebagai sebuah ciri ke-khususan Shalat. Bandingkan dengan ibadah lain. Puasa bisa diganti bila berhalangan dengan alasan yang sesuai. Haji demikian juga, bahkan bisa dipindahkan ke orang lain untuk pelaksanaannya. Tapi hal ini tidak berlaku dalam Shalat. Shalat zuhur tidak dapat dikerjakan saat subuh dan juga tidak dapat ditunda hingga maghrib. Orang sakitpun wajib shalat bahkan jika hanya matanya saja yang sanggup dilakukan. Qasar dan jamak hanya berlaku dengan alasan khusus dan tidak bagi semua shalat (shalat subuh tidak memiliki jamak maupun qasar)
  • Perintah Allah adalah untuk “mendirikan” bukan “mengerjakan”.
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS.An-Nisaa’ 103)
Apa beda “mendirikan” dengan “mengerjakan” ?. Mendirikan dapat berarti merubah posisi dari semula tidak berdiri menjadi berdiri (misalnya jika anda mendirikan kursi yang rebah). Dapat juga berarti menjadikan sesuatu yang semula belum jadi (atau belum ada) menjadi berdiri tegak dan kokoh (misalnya mendirikan bangunan). Sedangkan mengerjakan artinya sama dengan melakukan sesuatu (baik tuntas maupun tidak). Si-A mengerjakan PR, maka ada tiga kemungkinan : 1. ia mengerjakan tapi tidak tuntas.
2. Ia mengerjakan dan tuntas, tapi belum tentu benar semua (bisa jadi karena si-A pemalas atau bodoh tapi terpaksa mengerjakan PR).
3 Ia mengerjakan, tuntas dan benar semua (ini berarti sama dengan mendirikan PR)
Dengan demikian dalam konteks bangunan, mendirikan bangunan berarti menjamin bangunan tersebut akan berdiri dengan baik (baca : kokoh, kuat dan bagus). Mengerjakan bangunan belum tentu sampai selesai, dan juga belum tentu seluruh bangunan. Adapun mendirikan tugas (misalnya PR) adalah melakukannya dengan sepenuh hati dan secermat mungkin sehingga kecil kemungkinan terjadi kesalahan.Umumnya kalimat dirikanlah shalat dibarengi dengan tunaikanlah zakat (apa tunaikan dengan bayarkan?). mengapa justru zakat, bukan puasa, atau ibadah lainnya, rasanya perlu ditelaah namun bukan disini tempatnya.
  • Shalat adalah ibadah yang sangat dekat dengan Allah. Beberapa pakar menyatakan bahwa shalat adalah mi’rajnya orang muslim. Dan ada yang menyatakan bahwa posisi rukuk merupakan posisi terdekat
  • Perhatikan firman berikut :
    • Kecelakaan bagi orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dari shalatnya (QS.Al-Maa’uun : 4 & 5).
    • Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah : 183)
Ritual shalat begitu spesial bagi Allah sehingga ada murka-Nya disana. Orang yang shalat justru diancam (baca : celaka) jika shalat itu dilakukan tidak dengan benar adanya. Bagaimana shalat yang benar (supaya tidak celaka) ? Silahkan pelajari di banyak buku yang lebih lengkap mengenai hal ini. Namun intinya cukup satu : Jika shalat yang dilakukan itu benar adanya, maka sang pelaku shalat dan lingkungan sekitarnya akan merasakan pengaruhnya, karena shalat itu mencegah perbuatan keji (korupsi, menganiaya, merampas, jahat, kejam, dll) dan mungkar (egois, sombong, pelit, sok tahu, dll)

Mengapa Allahu akbar?

Setelah niat, maka kita takbir, “Allahu Akbar”. Ketika ruku juga “Allahu Akbar”, begitu juga sujud. Dan itu dilakukan hampir disetiap perubahan gerak (kecuali ketika dari ruku ke berdiri)Pertanyaannya, kenapa “Allahu Akbar” ? bukan “Subhanallah” atau Alhamdulillah” atau “Laa ilaaha illallaah” atau kalimat lainnya. Kenapa harus “Allahu Akbar” ?Allahu Akbar bagi saya diartikan tidak lagi sebagai Allah Maha Besar, tetapi “Allah terlalu besar”, begitu besar dalam semua hal – tanpa kecuali – sehingga hanya itu yang bisa dilakukan, yaitu mengucapkan “Allahu Akbar”. Kenapa berulangkali? Kenapa nyaris ditiap perubahan gerak ? Agar kita sadar sesadar-sadarnya bahwa Tuhan itu, Allah itu, begitu maha besar, setiap saat, setiap perubahan gerak (dalam shalat), setiap tarikan nafas (dalam hidup). Agar kita semua yakin dan makin merasa kerdil ketika mengucapkannya. Maka jadilah kita bergetar karena merasa Allah begitu terlalu hebat dan besar (Maha besar), bergetar karena mengakui begitu kerdil, kecil diri ini, bergetar karena begitu agung nama itu. “Allahu Akbar…”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS.Al-Anfaal 2)(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (QS.Al-Hajj 35)Maka barangsiapa yang shalat-nya belum sampai merasa gemetar, maka ia belum sampai dipengertian shalat yang sesungguhnya (perhatikan, berapa kali nama ALLAH disebut dalam satu rakaat?). Jadi wajar saja jika hingga berumur renta dan terus melakukan shalat tapi tindakan, tabiat, perilaku atau hasil kerja-nya sama sekali tidak memiliki cerminan dari shalat-nya. Itulah yang disebut shalat tanpa jiwa, itulah definisi seungguhnya shalat yang celaka. Tinggal kembali pada diri dan hati sendiri, sekeras apa hati ini mau menyadari dan menerima hal itu. 

Beberapa Kalimat dalam Takbiratul Ihram

Yang pertama adalah kalimat : Inni wajjahtu wajhiya fathoros samaawati wal ardho haniifan muslimaa wamaa ana minal musyrikiin (terjemah bebas saya : Inilah wajahku menghadap kehadirat-Mu, wahai penguasa Langit dan Bumi, sepenuh hatiku sebagai muslim yang ‘hanif’ dan aku bukan dari golongan musrik).
Lalu kalimat : Inna shalaati, wanusuki, wamaa yaaya, wa mamaati, lillahi rabbil ‘aalamiin (terjemah bebas saya : Sesungguhnya shalatku, ibadah-ku, hidup dan matiku, adalah bagi Allah, Tuhan semesta alam).Betulkah itu? Betulkah kita seperti yang kita ucapkan? Atau sebenarnya kita sedang munafik kepada Tuhan? (na’udzubillahi mindzaalik). Jika hidup mati hanya untuk Allah, jika shalat dan ibadat adalah “lillaahi ta’ala” bagaimana bisa shalat itu dilakukan lewat dari waktu? Bukankah masuknya zuhur itu adalah tepat pada saat mendengar azan zuhur? Mengapa baru jam satu lewat, atau pukul setengah dua baru mengerjakan shalat? Itukah muslim yang ‘hanif’? Silahkan hati nurani menjawab sendiri.Muslim yang ‘hanif’ dengan sederhana diterjemahkan sebagai muslim yang mengabdi. Hidup mati, shalat ibadah hanya untuk Allah hanyalah perkataan lain (menurut saya) bahwa orang itu jelas-jelas menyatakan pengabdian total-nya. Orang yang mengabdi secara total tentulah langsung mengerjakan apa yang diperintahkan. Ambil contoh sederhana. Saya sebagai majikan punya seorang pembantu. Lalu saya berkata, “Mbok, tolong ambilkan sandal saya”. Tentulah yang diharapkan adalah bahwa si pembantu (yang mengabdi “secara total” tadi) segera mengambilkan sandal saya. Bagaimana perasaan sang Majikan jika sandal-nya diambilkan 2 jam kemudian atau bahkan tidak pernah diambilkan?Lagi-lagi, maka seyogyanya menjadi amat wajarlah ketika mengucap kalimat tersebut hati menjadi bergetar. Ketika dengan berani kita menyatakan langsung kepada Tuhan pemilik alam, mengatakan langsung secara berhadapan kepada yang menciptakan kita bahwa kita muslim yang ‘hanif’, bahwa kita ‘pengabdi total’ yang tulus. Bahwa kita tidak sedang terang-terangan berbohong kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan berbohong kepada diri sendiri sekaligus ketika mengucapkan itu.Maka bagaimana mungkin kita mengucapkan kalimat itu dengan begitu serentak, begitu cepat. Itu yang disebut (menurut istilah saya) shalat tanpa jiwa.Hingga sejauh ini pembahasan kita, maka sampailah saya pada kesimpulan sementara : Seyogyanya kita melakukan shalat dengan tuma’ninah dan khusyu’. Semestinya tidak pantas kita mengucap kalimat-kalimat seperti tadi tanpa menghadirkan hati. Bagaimana bisa seorang mengharap menjadi kesayangan Allah, atau sekedar diterima shalat-nya jika ia mengucapkan “inni wajjahtu…dst” tapi fikiran dan hatinya sibuk di tempat lain. Ini wajahku wahai Tuhan yang welas asih, kutundukkan dihadapan-Mu dengan hati yang berdebar, adakah Dikau berkenan atas diri kecil, atas diri kerdil ini.
Beranikah kau (saya dan anda) berhadapan langsung dengan sang pemimpin Kiamat, sang empunya siksa, sang Maha welas asih, sang “Allahu Akbar” dengan sesuka hati. Ngupil ketika shalat, garuk-garuk pantat, mengantuk, batuk-batuk atau apapun hal remeh-temeh lain Beranikah? Tidak takutkah dengan-Nya? Belum cukup-kah firman yang berkata,4.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. orang-orang yang berbuat riya (QS.Al-Maa’uun 4-6)
Fakta membuktikan betapa mereka shalat dengan rajin, hingga masa renta namun tidak beroleh apa-apa (atau mungkin bahkan celaka). Maka seyogyanya berhati-hatilah semua yang mengaku muslim ketika shalat, adakah shalat-nya hanya mendatangkan ‘celaka’ ataukah ‘maghfirah’ dan kecintaan dari-Nya. Wallahu ‘alam. 

Ayat ke-1 dan ke-3 Surah Al-Fatihah

Setelah takbiratul ihram, maka membaca surah Al-Fatihah. Apa yang menarik?Pertama bahwa kalimat basmallah yaitu “Bismillaahi rrahmaani rrahiim” itu adalah termasuk ayat ke-1 dalam surah Al-Fatihah. Sementara ayat keduanya adalah “Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin”. Baru dilanjutkan ayat ke-3 : “Arrahmaani rrahiim”.Pada surah-surah yang lain, kalimat “bismillahirrahmaani rrahiim” adalah merupakan kalimat pembuka (bukan bagian dari surah).Sekarang perhatikan artinya. “Bismillaahi rrahmaani rrahiim”. Arti sederhana-nya “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang. Atau saya kadang memberi terjemahan bebas : Dengan menyebut Nama Allah yang begitu welas asih.
Intinya adalah bahwa Allah itu pemurah. Berbelas kasih, begitu baik, penyayang, welas asih.Sekarang perhatikan ayat ke-3 (ayat kedua tidak dibahas disini) : Arrahmaani rrahiim. Artinya sama persis : Maha Pengasih dan Maha penyayang. Welas asih.Kenapa diulang? Pasti bukan untuk memperbanyak jumlah ayat. Pasti bukan karena tidak ada bahasan lain. Pasti ada sesuatu (yang menarik).Mari kita berpaling sejenak ke cerita penciptaan manusia. Ketika itu Allah berfirman pada malaikat bahwa akan diciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan kemudian, ketika tercipta Adam AS, Allah berfirman agar semua bersujud (bukan dalam konteks menyembah) kepada Adam. Kecuali Iblis. Kenapa ? Karena ia merasa lebih baik dari adam (iblis dari api, adam dari tanah). Merasa lebih dari yang lain disebut sombong atau angkuh. Itulah dosa pertama di jagad raya dan murka Allah yang pertama diketahui. Perhatikan bahwa dosa terbesar adalah menyekutukan Allah. Iblis tidak menyekutukan Allah. Iblis “sekedar” sombong. Ia hanya merasa lebih baik karena diciptakan dari api dibandingkan Adam AS yang diciptakan dari tanah. Sama halnya kita merasa lebih baik karena memiliki jabatan daripada yang jabatannya dibawah kita. Sombong yang sama ketika kita merasa lebih baik karena lebih pintar, lebih cantik, lebih ganteng, lebih kaya, dll sementara yang lain kurang pintar, kurang ganteng, dll.Saat Iblis menolak perintah Allah, maka Allah langsung mengharamkan surga baginya dan melaknat masuk ke neraka. Itulah murka Allah.Tidak berpuasa tanpa alasan padahal sudah jelas diperintah, maka secara logika sederhana itu sudah cukup bagi Allah untuk mengharamkan surga dan melaknat dengan neraka. Sedekah, shalat dan semua perintah lain akan seperti itu juga konsekuensinya. Tapi satu hal harus digaris bawahi, bahwa kasih sayang Allah melampaui murka-Nya. Itulah maka perlu diyakini bahwa Allah itu Ar Rahmaan Ar Rahiim.Allah begitu Maha kasih, sehingga boleh kita berharap kasih dan mesranya. Begitu Maha Penyayang sehingga boleh kita berharap disayang oleh-Nya.Maka hemat saya, perhatikan betul ketika kita membaca ayat ke-1 dan ke-3 surah Al-Fatihah. Pemahaman dihati saat membaca ayat ke-1 akan dimantapkan oleh pemahaman atas ayat ke-3. 

Maaliki yaumiddiin

Ayat ke-4 adalah : Maaliki yaumid diin yang berarti Penguasa hari pembalasan.Sekarang perhatikan kata yaum ad-diin (hari agama). Mengapa harus memakai ad-diin (agama)? Mengapa bukan yaumul hisab, atau yaumul qiyamah ? Ini yang jelas telah disesuaikan dengan konteks kalimatnya. Yang menjadi inti adalah bahwa yaum ad-diin lebih menegaskan bahwa hari kiamat merupakan hari dimana esensi agama menjadi begitu jelas sehingga tidak ada pertanyaan dan keraguan atas agama. 

Tentang Shirath Al-Mustaqiim

Shirath Al-Mustaqim senantiasa diartikan sebagai : Jalan yang lurus. Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah bagaikan jalan tol.
Perlu diperhatikan bahwa Al-Fatihah adalah ummul kitab atau induk kitab atau ummul quran. Artinya adalah semua ayat Al-Fatihah merupakan intisari / ringkasan / resume Al-Quran secara keseluruhan. Maka, dalam kaitan dengan ini, Sirath Al-Mustaqim tidak lain dan tidak bukan ternyata adalah merupakan target point. Bila hidup, bayi, remaja, tua, mati kesemuanya merupakan checkpoint, maka shirath al-Mustaqim itulah target point. Destination (final point) adalah Surga dan keridhaan Allah.Sebagai target utama kehidupan, shirath mustaqim (jalan lurus) ini layak diperjuangkan. Apapun cara untuk bisa melewatinya dengan sempurna. Tapi seperti apa ciri dan kriteria shirath al-mustaqim ini ? Dijawab oleh ayat-ayat terakhir dengan sempurna yaitu :
  1. Jalan yang penuh nikmat didalamnya
  2. Jalan yang tidak dimurkai Allah SWT
  3. Jalan yang tidak sesat

Seluruh kriteria terpenuhi, maka itulah sirath al-mustaqim.Kata “Jalan” disini menurut hemat saya dapat berarti cara  Dalam bahasa inggris disebut “way” (bukan “road”). “The way of life” atau “where’s the will there’s the way” (dimana ada kemauan, disitu ada jalan) dalah pendekatan atas kata “jalan” yang bisa difahami sebagai cara. Maka ini maksudnya dengan cara apa kita menempuh kehidupan ini, jalan mana yang kita gunakan dalam mengarungi hidup ini. It’s all about the way, it’s all about the heart.Apa tujuan manusia hidup di dunia? Menjadi kaya? Menjadi sukses? Menjadi bahagia? Semua jawaban berujung di satu pintu yang bernama sirath al-mustaqim. Semua manusia menginginkan hidup yang penuh kenikmatan. Semua manusia tidak mau dimurkai Allah dan tentu tidak ingin tersesat. Maka bagi mereka yang sudah menikmati hidup (karena kaya, berpangkat, dll) perlu sadar bahwa 2 kriteria belum tercapai. Dan itu berbahaya.Bila jalan itu nikmat, maka itulah shirat al-mustaqim. Minuman keras juga nikmat, tapi itu dimurkai Allah, maka bukan shirath al-mustaqim. Bisa juga sudah nikmat dan juga sudah tidak dimurkai Allah, tapi ternyata sesat. Maka itu jelas juga bukan sirath al-mustaqim.

Tentang Surah Al-Ikhlas

Judul surah ini adalah Al-Ikhlas. Ikhlas berarti rela, ridho. Namun isi surah lebih merupakan penekanan atas ketauhidan Allah SWT.
Ada yang menyatakan bahwa membaca surah ini sebanyak 3 kali dengan tartil, maka ia sama dengan membaca seluruh Al-Quran. 

Adziim dan ‘A’laa

Ketika rukuk bacaannya adalah : “Subhaana Rabbiyal adziimi wa bihamdih”. Ketika sujud membaca : “Subhaana Rabbiyal a’laa wa bihamdih”. Beda tipis saja, tapi mengapa mesti diributkan?
Justru karena ini sangat esensial (paling tidak bagi saya sendiri).Mari kita lihat. Adziim berarti besar, sangat besar, super besar atau bisa juga dikatakan begitu hebat. Contoh kalimat adalah : Wallaahu dzuu fadhlin ‘adziim (QS.Al-Imran 174) artinya : Dan Allah mempunyai karunia yang begitu besar 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar